Fenomena penukaran uang baru saat Hari 
Raya Idul Fitri dapat dilihat sebagai tradisi masyarakat Indonesia untuk
 memberikan derma, terutama pada anak-anak. Biasanya saat Hari Raya Idul
 Fitri terdapat Syawalan ataupun Halal Bi Halal Keluarga Besar. Pada 
saat acara seperti ini pembagian amplop berisi uang pecahan kecil 
diberikan kepada anak-anak.
 Karena tingginya permintaan masyarakat terhadap uang pecahan baru 
jelang Hari Raya Idul Fitri maka muncul lah jasa penukaran uang baru. 
Namun, yang menjadi paradoks di masyarakat saat ini, apakah jasa 
penukaran uang baru tersebut masuk dalam kategori riba atau bukan. 
Dikarenakan terdapat keuntungan yang didapatkan oleh pemberi jasa 
penukaran uang baru tersebut.
 Dijelaskan oleh Masyhudi Muqorrobin selaku Ketua Divisi Kajian Ekonomi 
Syariah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ketika diwawancara 
redaksi website muhammadiyah.or.id pada Selasa (28/6) di ruangannya 
menjelaskan.
 Tukar menukar dalam Islam yang diperbolehkan yaitu dua sektor, barang 
dengan uang. Karena jika hanya satu sektor saja dapat menimbulkan Riba. 
Riba yang berkaitan dengan uang yaitu Riba An-Nasi’ah sedangkan Riba 
yang kaitannya dengan barang yaitu Riba Al-Fadhl.
 Dalam masyarakat terkadang kerap muncul persoalan terkait dengan 
aktifitas yang berhubungan dengan jual beli, salah satunya yaitu dalam 
hal jasa penukaran uang baru saat menjelang Hari Raya Idul Fitri.
 “Diperlukan pikiran yang lebih jernih dalam melihat permasalahan dalam 
hal jual beli yang berkaitan dengan indikasi terjadinya Riba,”ungkap 
Masyhudi.
 Termasuk juga dalam hal pertukaran uang di masyarakat saat menjelang 
Hari Raya Idul Fitri. Masyhudi secara pribadi menjelaskan bahwa 
pertukaran uang baru tersebut sama halnya dengan money changer, yang dimana kita butuhkan jasanya untuk mempermudah kita ketika melakukan perjalanan ke luar negeri.
 Pada posisi itu, letak penambahan pembayaran pada penukaran uang dengan
 uang dapat dikategorikan Riba, menjadi sedikit berbeda tritmennya.
 “Money changer dilakukan karena seseorang memiliki kebutuhan, 
sehingga keuntungan yang didapatkan masuk ke dalam kategori jasa atas 
pemberian pelayanan,”jelas Masyhudi.
 Terdapat berbagai faktor mengapa seseorang tidak menukarkan uangnya 
secara langsung ke Bank, salah satunya dari segi waktu, dan karena ada 
kegiatan-kegiatan lainnya, sehingga seseorang tidak secara langsung 
menukarkan uangnya ke Bank. Hal tersebut diperuntukan bagi masyarakat 
ekonomi kelas menengah ke atas.
 “Sedangkan permasalahan bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah 
terkait dengan penukaran uang, dikarenakan tidak memiliki akses ke 
Bank,”ucap Masyhudi. Sehingga melalui latar belakang itu, maka terdapat 
jasa penukaran uang baru tersebut.
 Jasa penukaran uang baru cukup sulit jika dikategorikan sebagai Riba, 
karena kegiatan tersebut erat kaitannya dengan pemberian jasa ataupun 
pemberian pelayanan.  “Jika melihat dari kondisi masyarakat saat ini, 
masih bisa ditoleransi ataupun diperbolehkan dalam konteks memberikan 
jasa penukaran uang baru kepada masyarakat,”ungkap Masyhudi.
 “Jasa dan Riba cukup sulit dibedakan, dalam proses eliminasi 
penghapusan Riba secara menyeluruh memerlukan proses yang cukup 
panjang,” tegas Masyhudi.
 Direktur IPIEF (International Program for Islamic Economics and 
Finance) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut kembali 
menambahkan, diperlukan pengkajian lebih serius dalam memutuskan 
pengkategorian Riba bagi jasa penukaran uang.
 Ketika seseorang meniatkan jasa penukaran uang tersebut untuk meraup 
keuntungan, maka kemungkinan dapat dikategorikan Riba, sedangkan jika 
meniatkannya untuk memudahkan masyarakat dalam memperoleh uang baru, 
maka hal tersebut tidak termasuk kategori Riba. “Hal itu kembali lagi 
kepada niatan masing-masing individu, apakah dengan memberikan jasa 
penukaran uang baru hanya untuk semata meraup keuntungan, atau memang 
untuk memudahkan masyarakat dalam memperoleh uang baru,” jelas Masyhudi.
 Hingga sampai saat ini Majelis Tarjih PP Muhammadiyah belum memutuskan 
fatwa terkait dengan jasa penukaran uang tersebut. “Jika hal tersebut 
sudah mendesak untuk dikeluarkan fatwanya, maka Tarjih akan bergerak 
untuk menindaklanjutinya, namun saat ini belum ada kearah 
tersebut,”tambah Masyhudi.
 Salah satu pekerja jasa penukaran uang baru di sekitar Pojok Benteng 
Malioboro,Yogyakarta. Waluyo, mengungkapkan. Dirinya melakukan jasa 
penukaran uang baru semata-mata karena ingin memudahkan masyarakat dalam
 memperoleh uang baru. “Yaa soalnya kesian juga kalo cuma di Bank 
menukarkan uangnya, masyarakat pada ngantri, dan pastinya pihak Bank 
juga kewalahan mengatasinya,” ungkapnya.
 Waluyo juga mengatakan, keuntungan yang diperoleh dari jasa tersebut 
yaitu sebesar sepuluh ribu rupiah. “Setiap penukaran uang sejumlah 
seratus ribu rupiah, kami mengambil upah penukaran sebesar sepuluh ribu 
rupiah, upah tersebut berlaku bagi semua pecahan mata uang yang kami 
sediakan,” tambahnya.
 Sementara itu, komentar masyarakat terkait dengan penukaran uang baru 
turut diutarakan oleh Fajar Junaedi, warga Pleret, Bantul. Junaedi 
mengungkapkan. “Sah-sah saja jika masyarakat ingin menukarkan uangnya ke
 jasa penukaran uang baru, sejauh pemberi jasa tidak memanfaatkan hal 
itu untuk meraup keuntungan, yang berdampak pada merugikan 
masyarakat,”jelasnya.
 “Seharusnya jauh-jauh hari mengumpulkan pecahan uang kecil. Jika mepet
 dengan idul Fitri, pilihannya antri menukar uang di Bank atau menukar 
uang di jasa penukaran uang, yang mana terdapat tambahan pembiayaan,” 
ungkapnya.
 Dosen Ilmu Komunikasi UMY tersebut turut menambahkan, tradisi memberi 
amplop kepada anak-anak perlu dilihat sebagai upaya mendidik anak untuk 
rajin berderma sekaligus membuat mereka bahagia di hari idul Fitri. 
“Pelajaran untuk berderma penting untuk diajarkan kepada anak-anak,” 
tutupnya. (mona)
Sumber: http://www.muhammadiyah.or.id

 
 
 
 
 
 
0 Comments