Istilah matematika berasal dari kata yunani “mathein” atau “manthenein”, yang berarti “mempelajari”.Mungkin juga, kata tersebut erat kaitannya dengan kata Sansekerta “medha” atau “widya” yang artinya “kepandaian”,“ketahuan”, atau “intelegensi”. Dalam buku landasan matematika, Andi Hakim Nasution(1977: 12) tidak menggunakan istilah “ilmupasti” dalam menyebutkan istilah ini. Kata “ilmu pasti” berasal dari terjemahan bahasa belanda “wiskunde”. Kemungkinan dari kata “wis” ini ditafsirkan sebagai “pasti”, karena dalam bahasa belanda ada ungkapan “wis an zeker”: “zeker”berarti “pasti”, tetapi “wis” disini lebih dekat artinya ke “wis” dari kata“wisdom” dan “wissenscaft”, yang erat kaitannya dengan “widya”. Karena itu,“wiskunde” sebenarnya harus diterjemahkan sebagai “ilmu tentang belajar” yang sesuai dengan arti “mathein” pada matematika.
Penggunaan kata “ilmu pasti” atau “wiskunde” untuk“mathematics” seolah-olah membenarkan pendapat bahwa didalam matematika semua hal sudah pasti dan tidak dapat diubah lagi. Padahal, kenyataan sebenarnya tidaklah demikian. Dalam matematika, banyak terdapat pokok bahasan yang justru tidak pasti, misalnya dalam statistika ada probabilitas (kemungkinan).
Dengan demikian, istilah “matematika” lebih tepat digunakan dari pada “ilmu pasti”. Karena, dengan menguasai matematika orang akan dapat belajar untuk mengatur jalan pikirannya dan sekaligus belajar menambah kepandaiannya. Dengan kata lain, belajar matematika sama halnya dengan belajar logika, karena kedudukan matematika dalam ilmu pengethuan adalah sebagai ilmu dasar atau ilmu alat. Sehingga untuk berkecumpung didunia sains,teknologi, ataupun disiplin ilmu lainnya, langkah awal yang haurs ditempuh menguasai ilmu alat atau ilmu dasarnya,yakni menguasai matematika dengan benar.
Dalam proses belajar matematika juga terdapat proses berpikir, sebab seseorang dikatakan berpikir apabila seseorang itu melakukan kegiatan mental, dan orang yang belajar matematika mesti melakukan kegiatan mental. Dalam berpikir, orang menyusun hubungan-hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah direncanakan dalam pikirannnya sebagai pengertian-pengertian. Dari pengertian tersebut, terbentuklah pendapat yang pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan. Dan, tentunya kemanpuan berpikir seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya. Dengan demikian, terlihat jelaslah adanya hubungan antara kecerdasan dengan proses dalam belajar matematika (hudojo, 1990: 5).
Defenisi matematika tesebut diatas, bisa dijadikan landasan awal untuk belajar dan mengajar dalam proses pembelajaran matematika. Diharapkan, proses pembelajaran matematika juga dapat di langsungkan secara manusiawi sehingga matematika tidak dianggap lagi momok yang menakutkan bagi siswa: sulit, kering, bikin pusing, dan anggapan-anggapan negatif lainnya. Sepintas, anggapan masih dapat dibenarkan sebab, mereka belum memahami hakikat matematika secara utuh dan imformasi yang diperoleh hanya parsial. Hal ini sebenarnya bukan salah siswa itu sendiri, melainkan kesalahan para guru yang memang tidak utuh dalam memberikan informasi tentang matematika. Hal ini biasjadi disebkan minimnya kemampuan guru dibidang itu, atau mungkin juga kesalahan dosen-dosen yang telah mendidik guru tersebut sewaktu diperguruan tinggi atau memang tidak (baca: belum) ada media informasi yang menyuguhkan tentang hal tersebut.
Perlu diketahui, bahwa ilmu matematika itu berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa yang terdiri atas simbol-simbol dan angka. Sehingga, jika ingin belajar matematika dengan baik, maka langkah yang harus ditempuh adalah kita harus menguasai bahasa pengantar dalam matematika, harus berusaha memahami makna-makna dibalik lambang dan simbol tersebut. Sama halnya ketika kita membaca kitab kitab kuning (kitab yang terdiri dari tulisan arab tanpa harakat). Bagi orang yang buta akan bahasa arab, tentu dia akan mengalami kebingungan ketika disuruh membaca apalagi memberi makna atau menafsirkan tulisannya. Sebaliknya yang mahir bahasa arab dan didukung kemampuan nahwu-sharaf (gramatika bahasa arab) yang tinggi, dia dapat dengan mudah dapat membaca dan memberi makna kitab kunig yang menggunakan pengantar bahasa arab.
Penggunaan kata “ilmu pasti” atau “wiskunde” untuk“mathematics” seolah-olah membenarkan pendapat bahwa didalam matematika semua hal sudah pasti dan tidak dapat diubah lagi. Padahal, kenyataan sebenarnya tidaklah demikian. Dalam matematika, banyak terdapat pokok bahasan yang justru tidak pasti, misalnya dalam statistika ada probabilitas (kemungkinan).
Dengan demikian, istilah “matematika” lebih tepat digunakan dari pada “ilmu pasti”. Karena, dengan menguasai matematika orang akan dapat belajar untuk mengatur jalan pikirannya dan sekaligus belajar menambah kepandaiannya. Dengan kata lain, belajar matematika sama halnya dengan belajar logika, karena kedudukan matematika dalam ilmu pengethuan adalah sebagai ilmu dasar atau ilmu alat. Sehingga untuk berkecumpung didunia sains,teknologi, ataupun disiplin ilmu lainnya, langkah awal yang haurs ditempuh menguasai ilmu alat atau ilmu dasarnya,yakni menguasai matematika dengan benar.
Dalam proses belajar matematika juga terdapat proses berpikir, sebab seseorang dikatakan berpikir apabila seseorang itu melakukan kegiatan mental, dan orang yang belajar matematika mesti melakukan kegiatan mental. Dalam berpikir, orang menyusun hubungan-hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah direncanakan dalam pikirannnya sebagai pengertian-pengertian. Dari pengertian tersebut, terbentuklah pendapat yang pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan. Dan, tentunya kemanpuan berpikir seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya. Dengan demikian, terlihat jelaslah adanya hubungan antara kecerdasan dengan proses dalam belajar matematika (hudojo, 1990: 5).
Defenisi matematika tesebut diatas, bisa dijadikan landasan awal untuk belajar dan mengajar dalam proses pembelajaran matematika. Diharapkan, proses pembelajaran matematika juga dapat di langsungkan secara manusiawi sehingga matematika tidak dianggap lagi momok yang menakutkan bagi siswa: sulit, kering, bikin pusing, dan anggapan-anggapan negatif lainnya. Sepintas, anggapan masih dapat dibenarkan sebab, mereka belum memahami hakikat matematika secara utuh dan imformasi yang diperoleh hanya parsial. Hal ini sebenarnya bukan salah siswa itu sendiri, melainkan kesalahan para guru yang memang tidak utuh dalam memberikan informasi tentang matematika. Hal ini biasjadi disebkan minimnya kemampuan guru dibidang itu, atau mungkin juga kesalahan dosen-dosen yang telah mendidik guru tersebut sewaktu diperguruan tinggi atau memang tidak (baca: belum) ada media informasi yang menyuguhkan tentang hal tersebut.
Perlu diketahui, bahwa ilmu matematika itu berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa yang terdiri atas simbol-simbol dan angka. Sehingga, jika ingin belajar matematika dengan baik, maka langkah yang harus ditempuh adalah kita harus menguasai bahasa pengantar dalam matematika, harus berusaha memahami makna-makna dibalik lambang dan simbol tersebut. Sama halnya ketika kita membaca kitab kitab kuning (kitab yang terdiri dari tulisan arab tanpa harakat). Bagi orang yang buta akan bahasa arab, tentu dia akan mengalami kebingungan ketika disuruh membaca apalagi memberi makna atau menafsirkan tulisannya. Sebaliknya yang mahir bahasa arab dan didukung kemampuan nahwu-sharaf (gramatika bahasa arab) yang tinggi, dia dapat dengan mudah dapat membaca dan memberi makna kitab kunig yang menggunakan pengantar bahasa arab.
0 Comments